Senin, 14 Maret 2011

TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PERKEMBANGAN IMAN MENURUT JAMES FOWLER




TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PERKEMBANGAN
IMAN MENURUT JAMES FOWLER

I.                   PENDAHULUAN
James Fowler lahir pada tanggal 12 Oktober 1940 daerah North Carolina, Amerika Serikat. [1] Ayahnya adalah seorang direlktur ekslkusif Methodist Summer Conference Center. Suasana iman yang mendalam di dalam keluarganya, khususnya berkat pengaruh sang ayah yang menjadi pendeta gereja Methodist, mendorong James untuk mengadakan refleksi teologis terhadap masalah-masalah iman. Ia merasa terpanggil menjadi pendeta. Dengan demikian, dia mengikuti jejak ayahnya.
James Fowler merupakan psikolog agama pertama kalinya dalam sejarah psikologi secara eksplisit dan sistematis mempelajari kepercayaan/iman.[2] Dan mulai mengembangkan teori perkembangan kepercayaannya sejak tahun 1968-1969 ketika ia menjadi wakil pemimpin suatu pusat pembinaan agama dan kebudayaan di North California dan bekerja sebagai seorang pakar bimbingan dan konseling. Dia berupaya memhami bagaimana suatu kepercayaan berkembang secara berangsur-angsur menuju kepercayaan yang matang.[3]
Teori Fowler adalah suatu teori yang menggambarkan tujuh tahap perkembangan kepercayaan eksistensial sebagai kejadian penting menentukan perjalanansetiap orang. Oleh karena itu, dia menjelaskan hubungan psikologi dengan teologi melalui teori tahap perkembangan iman.[4]




II.                PEMBAHASAN
Melalui pendekatan James Fowler terhadap Faith Development Theory (Teori perkembangan iman), dia menjelaskan bahwa Faith tidaklah identik dengan “agama” (religion). Faith merupakan kepercayaan eksistensial pribadi atau iman, dan merupakan usaha psikologis ilmiah untuk menguraikan dan menganalisis seluruh dinamika proses perkembangan tahap-tahap kepercayaan secara empiris dan teoritis. Sedangkan agama merupakan sebagai sebuah tradisi kumulatif tertentu yang bersifat historis, budaya dan kultus dimana suatu masyarakat tertentu melalui khazanah simbol, upacara, norma etis dan ekspresi estetis secara resmi.[5] Dalam buku Rahmat Subagya kepercayaan terdiri dari unsur kebatinan, kerohanian, dan kejiwaan.[6] L Orange menyatakan bahwa agama merupakan suatu filsafat karena berasal dari konspe manusia itu sendiri.[7] Oleh karena itu kepercayaan dan agama adalah hal yang berbeda. Sehingga menurut Fowler perbedaan ini merupakan hal yang sangat penting. Pendekatan perkembangan kepercayaan melalui beberapa tahap pendekatan diantaranya adalah:

1.      Tahap 1: kepercayaan elementer awal (Primal Faith) 0-2 tahun.[8]
Tahap ini adalah tahap 0 atau pratahap (pre-stage yaitu masa orok, bayi 0-2 tahun) atau disebut juga dengan kepercayaan yang belum terindefikasi karena bayi belum mengenal dan merasakan lingkungannya. Dasar kepercayaannya, keberanian, harapan dan cinta belum dibedakan lewat proses pertumbuhan, melainkan masih saling tercampur satu sama lain dalam suatu keadaan kesatuan yang samara-samar. Pola kepercayaan ini disebut elementer, awal dan dasariah. Rasa kepercayaan elementer ini timbul dengan spontan yang bersifat pralinguistis (preverbal) sebelum munculnya kemampuan berbahasa yang terdapat di lingkungan sekitar dan yang setia merawatnya (orangtua terutama ibu). Sama halnya dengan pemahaman Erikson yang berpandangan bahwa masalah psikoanalisis dan pertumbuhan manusia berasal usul pada masa kanak-kanak, percaya dasariah diperoleh dari ibu.[9]  Si anak memperoleh kasih pertama kanak-kanak, percaya dasariah diperoleh dari ibu.. karena ibulah yang menggunakan banyak waktunya untuk anaknya serta menyiraminya dengan kasih yang tulus. Anak disini membutuhkan kasih tanpa syarat sehingga butuh dikasihi sebagai pribadi yang unik. Oleh karena itu, epran yang paling utama disini adalah peran ibu.
Psikologi yang juga berpusat dari simbol ibu adalah Carl Jung merupakan salah satu tokoh psiko-analisis. Psikologi Jung dikatakan dengan psikologi statis yang mengutamakan fase pra-oedipus, yakni fase narsisme pertama serta ikatan arkahis dengan ibu. Sedangkan psikologi Freud merupakan psikologi dinamis karena Freud menggarisbawahi pentingya konflik dalam perkembangan manusia, khususnya konflik Oedipus.[10] Oleh karena itu Vergote mengatakan bahwa psikologi Freud berkisar apda simbol bapak (bapaklah tokoh yang paling dominan dalam fase-oedipus) sedangkan psikologi Jung berkisar pada simbol ibu, karena tokoh ibulah yang berperan pusat dalam pra-oedipus.
 Psikologi yang dikembangkan oleh tokoh psiko-analisis yang termasyur bolah dikatakan berpusat pada simbol ibu adalah Jung dengan sebutan psikologi simbol ibu. Psikologi Jung dikatakan dengan psikologi statis yang mengutamakan fase pra-oedipus, yakni fase narsisme pertama serta ikatan arkhais dengan ibu. Sedangkan psikologi Freud merupakan psikologi dinamis karena Freud menggarisbawahi pentingnya konflik dalam perkembangan manusia, khususnya konflik-oedipus.  Oleh karena itu Vergote mengatakan bahwa pskologi Freud  berkisar pada simbol bapak (Bapaklah tokoh yang paling dominant dalam fase-oedipus) sedangkan psikologi Jung berkisar pada simbol –ibu, karena tokoh ibulah yang berperan pusat dalam fase pra-oedipus.
Carl Jung berpendapat bahwa melambangkan Allah, sang ibu tidak kalah pentingnya dengan sang bapak. Anggapan ini dapat kita hubungkan teorinya dengan agama yang manyatakan bahwa pendorong agama ialah hasrat untuk manusia dilahirkan kembali menjadi dirinya sendiri, menjadi utuh pula. Oleh karena itulah di dalam dan oleh ibulah manusia dilahirkan kembali menjadi dirinya sendiri.[11]
Pengalaman kepercayaan akan Allah transenden selaku Wujud Tertinggi yang mahacinta, mahakuasa, dan mahabijaksana tergantung kepada siapa kita merasa diri bergantung secara radikal dalam sikap setia dan percaya, telah digariskan dan dikembangkan oleh diri pengasuh utama. Pengasuh utama akan mempengaruhi juga gambaran asli tentang Allah sebagai Ibu-Bapak. Disini tidak hanya menyadari adanya ambivilensi dan ambiguitas dalam hidup dan realitas manusia, tetapi juga pada Allah sendiri menurut bayangan kita. [12]
2.      Tahap 2: Kepercayaan intuitif- Proyektif [13]
Daya imajinasi dan dunia gambaran sangat berkembang. Tetapi pada tahap ini, anak belum memiliki kemampuan operasi logis yang mantap, sehingga daya imajinasi berkembang secara bebas. Daya imajinasi dirangsang oelh cerita, gerak, isyarat, upacara, dimbol dan kata-kata. Semua ini diperhatikan oleh anak-anak dengan sungguh-sungguh. Sehingga kemampuan dan minat anak terhadap misteri yang suci diarahkan da dibina persepsinya mengenai pandangan dan keyakinan religious orang dewasa. Dunia gambaran dan imajinasi ini menguasai seluruh hidup afektif dan kognitif yang mendasari pola kepercayaan si anak. Tahap pertama yang praverbal diakhiri dengan timbulnya kesanggupan berbahasa kira-kira pada umur 2 tahun, walaupun pembendaharaan kata-kata masih terbatas. Oleh karena itu, eprlu pembimbingan dari orang dewasa yang berada di dekatnya.
Allah digambarkan menurut alam fantasi pra-antromorf. Artinya, anak mencoba menerapkan berbagai ide seperti yang tidak kelihatan seperti roh, angina, udara, dan lain sebagainya untuk menggambarkan Allah yang mempengaruhi dunia secara fisik dan substansial. Namun, biarpun Allah dilukiskan secara pra-antromorf (misalnya Allah bagaikan udara, Dia ada dimana-mana, anak juga memahami Allah sebagai suatu pribadi. Misalnya: saya mencintai-Nya sehingga Pribadi Allah digambarkan menurut aspek-aspek fisik. Misalnya: Allah berpakaian putih. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa anak memahami Allah melalui campuran antara gambaran antromorf dan pra-antromorf.[14]

3.      Tahap 3: Kepercayaan Mistis Harafiah (6-11 tahun)[15]
Masa ini adalah masa usia sekolah. Pada tahap ini gambaranm emosional dan imajinasi masih berpengaruh kuat. Namun muncul operasi-operasi logis baru yang melampaui tingkat perasaan dan imajinasi dari tahap sebelumnya. Bentuk berpikir yang agak episodis dan intuitif (tahap ke II pun ditinggalkan). Anak belajar melepaskan diri dari egosentrisnya mulai dengan membedakan perspektif dirinya dengan orang lain. berkat gaya logikanya yang baru dan pengambilan perspektif orang lain tersebut, maka anak sanggup memandang religiusnya dengan tolok ukur logikanya sendiri. Tetapi pada tingkat moral, anak belum mampu menyusun dunia bati atau interioritas yaitu seluruh perasaan, sikap dan prosess penuntun batiniah yang dimilikinya sendiri. Pandangan moralnya  menuntut bahwa yang baik harus dihadiahi dan yang jahat harus dihukum. Seringkali anak menyusun gambaran menegnai lingkungan yang ultimo atau Allah seturut analogi seorang penguasa dan orangutan yang selalu bersikap memelihara, terutama bersikap adil dan jujur.
Semua tokoh dan pelaku yang memainkan peran dalam cerita selalu dilukiskan Allah secara antromorf. Penggambaran yang bercorak antromorf ini diproyeksikan kepada Allah yang diapndang sebagai Raja pembuat undang-undang yang pertimbangan moralnya didasarkan pada sikap fairness (kejujuran, keadilan, kewajaran).[16] Aspek yang paling penting pada tahap ini adalah bahwa anak dapat menyusun dan mengartikan dunia pengalamannya melalui cerita rakyat dan hikayat. Bahan naratif tersebut menjadi medium yang paling digemari menciptakan dan mendapatkan arti. Namun, anak menangkap dan menafsirkan seluruh cerita, simbol, pendapat, dan keyakinan kepercayaan orang lain serta kelompok-kelompoknya masih terbatas, sebab anak masih memahami semuanya itu secara harfiah, konkret, dan mampu berpikir secara induktif sehingga pantas disebut sebagai seorang yang empiris. Berbeda dengan anak intuitif-proyektif yang mencampurkan fakta, fantasi dan perasaan, sedangkan tahap ini yaitu mistis- harfiah berusaha keras dan efektif untuk memisahkan yang real dari seolah-olah yang nyata. Tahap ini juga mampu menuangkan pengalamannya dalam bentuk cerita.
4.      Tahap ke 4: Kepercayaan Sintesis-Konvensional (masa adoselen umur 12- masa dewasa).[17]
Tahap ini muncul pada masa adoselen (umur 12-20 tahun). Sekitar umur 12 tahun, remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam caranya sendiri memberi arti. Erikson menyatakan bahwa pokok pada masa remaja adalah antara identitas dan ekkacauan peran.[18] Krisis identitas tercipta oleh runtuhnya dunia kanak-kanak. Pencapaian identitas itu terjadi di tengah-tengah krisis yang hebat.[19] Karena munculnyaoperasi-operasi logis, remaja sanggup merefleksikan secara kritis riwayat hidupnya dan menggali arti sejarah hidupnya bagi dirinya sendiri. Upaya menciptakan operasi-operasi formal ini makna baru (sintesis) menyebabkan remaja sangat tertarik pada ideologi dan agama. Agamalah yang menciptakan kerangka makna eksistensial yang terdalam dan terakhir. Remaja berjuang menciptakan suatu sintesis dari berbagai keyakinan dan nilai religius yang dapat mendukung proses pembentukan identitas diri dan memungkinkan munculnya rasa kesetiakawanan, kesetiaan dan kepercayaan kepada orang lain. pola kepercayaan ini disebut dengan Fowler dengan konvensional. Tetapi pembentukan identitas diri ini disebut Fowler dengan konvensional. Tetapi pembentukan identitas diri ini, menjadi krisis yang paling utama pada tahap kepercayaan sintesis-konvensional. Tetapi pembentukan identitas diri ini, menjadi krisis yang paling utama pada tahap kepercayaan sintesis-konvensional karena remaja akan bingung dan sulit menemukan jati dirinya karena gambaran-gambaran dari luar disatukan dengan dirinya dengan gambaran yang heterogen, baik itu dari masyarakat, keluarga, sahabat (psikososial).
Pada tahap ini juga remaja akan menyusun gambaran yang agak personal mengenai lingkungan akhir. Artinya, Allah tidak lagi dibayangkan menurut model antromorf semata-mata seperti pada tahap sebelumnya yaitu tahap kepercayaan mistis-harafiah. Akan tetapi akan disusun menurut paradigma “hubungan antar pribadi mutual” yaitu Allah yang “personal” merupakan seorang pribadi yang mengenal diri saya secara lebih baik daripada pengenalan diri saya sendiri. Sehingga remaja dapat mengandalkan Allah sebagai sahabat karib, penyelamat, dan Allah sebagai Pribadi yang mengenal dan memahami remaja. Selaku sahabat Unggul yang paling akrab, Allah juga dipandang sebagai Kepribadian ulung yang secara istimewa memilki kedalaman hidup batin yang kaya, berlimpah ruah dan penuh misteri yang tidak ada batasnya.
5.      Tahap 5: Kepercayaan individuatif-Reflektif (masa dewasa awal dan sesudahnya, umur 18 tahun dan seetrusnya)[20]
Paling cepat berumur 18 tahun, atau biasanya pada umur sekitar 20 tahun, seklai lagi mengalami perubahan yang mendalam dan menyeluruh dalam hidupnya. Tahap ini ditandai dengan lahirnya refleksi kritis atas seluruh pendapat, keyakinan dan nilai agama yang lama.pribadi sudah mampu melihat sendiri dan orang lain sebagai bagian dari sistem kemasyarakatan, tetapi bahwa dia sendirilah yang memikul tanggungjawab atas peentuan pilihan ideologis dan gaya hidup yang membuka jalan baginya untuk mengikatkan diri dengan cara menunjukkan kesetiaan pada seluruh hubungan dan panggilan tugas. Pada tahap ini orang dewasa muda sangat tanggap dan peka terhadap macam pemimpin ideologis dan kharismatis yang pastinya membutuhkan kebenaran logis sehingga pada tahap ini diperlukan pempimbing yang cerdas untuk menerapkan kebenaran dengan kehidupan yang nyata dalam pelayanan yang mereka lakukan sesuai dengan bakat mereka untuk melayani Tuhan.
Kepercayaan pada tahap ini disebut dengan “individuatif” karena baru saat inilah pertama kalinya dalam refleksi diri tidak semata-mata bergantung pada orang lain. Pribadi mengalami diri autentik dan mandiri. Tahap ini juga sudah bersikap kritis terhadap simbol. Simbol tidak lagi dianggap identik dengan yang sakral, tetapi memahaminya secara rasional.
6.      Tahap 6: Kepercayaan Eksistensial Konjungtif (usia setengah dan selanjunya umur minimum  sekitar 35-40 tahun)
            Ini timbul pada usia pertengahan (sekitar 35 tahun keatas). Semua yang diupayakan di bawah kuasa kesadaran dan pengotrolan rasio pada tahap sebelumnya kini ditinjau kembali.  Batas-batas sitem pandangan hidup dan identitas diri yang jelas, kaku, dan tertutup kini menjadi luntur dan kembali samara-samar. Tahap ini ditandai oelh suatu keterbukaan dan perhatian baru terhadap adanya polaritas, ketegangan, paradoks, dan ambiguitas dalam kodrat kebenaran diri dan hidupnya. Kini perhatian utama ditujukan upaya mmebuat hidupnya menjadi lebih utuh, menggabungkan kembali daya rasio dengan sumber ketidaksadarannya dan melampaui egosentrismenya yang tertutup menuju perngabdian diri yang lebih radikal pada kepentingan orang lain. ia menjadi lebih peka terhadap fakta bahwa hidup lebih merupakan anugerah pemberian daripada hasil upaya rasional.[21] Tahap ini menyadari bahwa semua kehidupan yang dialaminya dan merupakan anugerah bukan dari kekuatan hasil usaha, kerja keras yang dimilikinya selama ini, melainkan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan.
            Pada tahap ini juga sang pribadi mencapai tingkat kepolosan kedua yang meresapi rasa tanggap baru terhadap segala arti simbol, bahasa, kiasan, cerita, mitos, methapor dianggap sebagai saarna untuk memahami kebenaran. Segala simbol dan upacara dipandang sebagai jalan perantara sah yang mampu mengangakt hati manusia kepada yang Ultim dan Allah dihayati sebagai wujud yang sungguh-sunguh pribadi.

7.      Tahap ke 7: Kepercayaan yang mengacu pada universalitas (usia pertengahan dan selanjutnya, sekitar 45 tahun).
Kepercayaan ini mengacu pada universalitas sebenarnya jarang terjadi, dan jika terjadi umumnya berkembang sesudah  umur 30 tahun atau berkembang pada umur 45 tahun keatas. Pribadi melampaui tingkat paradoks dan polaritas karena gaya hidupnya langsung berakar pada kesatuan Yang Ultim, yaitu pusat nilai, kekuasaan dan keterlibatan yang terdalam. Identifikasi dan partisipasi yang hidup mungkin karena pribadi berhasil mengosongkan diri (kenosis) dan memandang bahwa ego adalah pusat, titik acuan, dan tolak ukur kehidupan yang mutlak. Karena partisipasi Yang Ultim, sumber satu-satunya dari segala nilai, kognisi etis, keterlibatan dan tanggubgjawab, perasaan, epmikiran dan pandangan religius biasa, semuanya itu hendak diubah melalui perspektif universalitas (yang tidak lain adalah perspektif transenden Allah).
Gaya hidup diliputi semangat cinta inklusif dan universal terhadap segala gejala hidup dan makhluk hidup. Oleh karena itu, perjuangan akan kebenaran, keadilan, kesatuan sejati berdasarkan cinta universal ini menyerupai daya dan dinamika Kerajaan Allah. Pribadi yang berada dalam kepercayaan eksistensial universal ini seolah-olah mata, tangan, dan mulut yang mewujudkan cinta dan perspektif abadi dari Yang Transenden (Allah). Dalam kerangka, pribadi semacam ini disebut orang kudus atau saleh dan nabi.































DAFRTAR PUSTAKA

Crapps, Robert. W
1993                            Dialog Psikologi dan Agama, Yogyakarta, (Kanisius)

Crapps, Robert. W
1994                            Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta, (Kanisius)
Cremers, Agus
1995                                                        Tahap-Tahap Perkembangan Iman, Yogyakarta, (Kanisius)
Cremers, Agus
1995                            Teori Perkembangan Kepercayaan Karya-Karya James Fowler, Yogyakarta, (Kanisius)
Dister, Nico Syukur
1985                                                        Filsafat Agama Kristiani, Yogyakarta, (Kanisius)

Subagya, Rahmat
            1976                            Kepercayaan dan Agama, Yogyakarta, (Kanius)   


[1] Agus Cremers, Teori Perkembangan Kepercayaan Karya-Kerya Penting James Fowler, Kanisius, Yogyakarta: 1995, hlm. 17.
[2] Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James Fowler Sebuah Gagasan Baru dalam Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1995, hlm. 7.
[3] Opcit. Teori Perkembangan Keprcayaan, hlm. 17.
[4] Opcit, Tahap-Tahap Perkembangan Keprcayaan, hlm. 8.
[5] Ibid., hlm. 21-22.
[6] Rahmat Subagya, Kepercayaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1976, hlm. 9.
[7] Nico Syukur, Filsafat Agama Kristiani, Kanisius, Yogyakarta: 1976, hlm. 9
[8] Ibid., hlm27.                                      
[9] Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, Kanisius: Yogyakarta, hlm. 91,91.
[10] Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1989, hlm. 36.
[11] Ibid., hlm. 39.
[12] Opcit., Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan, hlm. 102.
[13] Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan, hlm. 28-29.
[14] Opcit., Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan, hlm. 109-110.
[15] Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan, hlm.29.
[16] Opcit., Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan, hlm. 117-118.
[17] Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan, hlm. 30.
[18] Opcit., Dialog Psikologi dan Agama, hlm. 90.
[19] Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Kanisius, Yogyakarta: 1994, hlm. 26.
[20] Ibid., hlm. 32.
[21] Opcit., Teori Perkembangan Kepercayaan Karya-Karya Penting James Fowler, hlm. 34.

1 komentar:

  1. bagus pak. tapi masih banyak kalimat yang harus diedit pak. thanks

    BalasHapus